DETIKTV SUMSEL | Jakarta - Lembaga Jaminan Fidusia dibentuk untuk menghadirkan kepastian bagi kreditur tanpa harus menarik fisik barang jaminan. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 menjanjikan tiga hal penting: kepastian hukum, perlindungan bagi para pihak, dan kemudahan eksekusi. Namun praktik membuktikan bahwa kepastian itu sering hanya bersifat normatif.
pencatatan fidusia memang memberi kepastian formal, tetapi tidak menyelesaikan masalah substansi. Setelah Putusan MK No.18/2019, eksekusi tidak lagi bisa dilakukan otomatis. Kreditur harus bernegosiasi ulang soal wanprestasi atau kembali ke pengadilan. Proses yang seharusnya cepat berubah berbelit dan membuka ruang sengketa panjang.
persoalan eksekusi di lapangan memunculkan masalah baru. Penarikan kendaraan oleh debt collector ilegal sering melibatkan intimidasi, benturan fisik, bahkan kriminalisasi. Situasi ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin instrumen hukum yang dirancang memberikan kepastian justru menimbulkan ketidakamanan?
ketidakpastian ini berdampak serius bagi ekonomi. Risiko kredit meningkat, biaya pembiayaan naik, dan akses pinjaman bagi UMKM semakin terbatas. Ketika eksekusi sulit dilakukan, aset produktif justru berhenti berfungsi karena tersandera sengketa.
Untuk mengembalikan fungsi fidusia sebagai pilar kepastian hukum, beberapa langkah reformasi menjadi mendesak: standarisasi pembuktian wanprestasi, eksekusi yang hanya dilakukan aparat resmi, digitalisasi penuh pencatatan fidusia, dan pembatasan gugatan yang diajukan semata untuk menghambat proses hukum.
Kepastian hukum tidak dapat lahir hanya dari sertifikat, melainkan dari penegakan yang konsisten dan dapat diprediksi. Jika tidak dibenahi, Lembaga Jaminan Fidusia hanya akan menjadi aturan yang tampak kuat di atas kertas tetapi rapuh ketika diuji realitas. Dan dalam konteks pembiayaan, kerapuhan itu akan berimbas langsung pada kepercayaan publik dan stabilitas ekonomi.

