Oleh : Rahmat Hidayat (Mahasiswa Magister Pendidikan Olahraga Universitas Negeri Jakarta, Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam)
Pada dasarnya tidak ada pihak yang menolak diselenggarakannya Piala Dunia U-20 di Indonesia. Hanya saja, ada hal yang sifatnya prinsipil yang menjadi keharusan sehingga menegaskan sikap penolakan yang spesifik dari beberapa komponen bangsa ini terhadap ajang tersebut. Maka tak patut juga bangsa ini bersikap hipokrit terhadap spirit historis dan konstitusi, apalagi menguatkan narasi bahwa ”olahraga jangan dicampuradukkan dengan urusan politik” tanpa menerawang lebih jauh bagaimana sebenarnya politik secara struktural melakukan penetrasi dalam dunia olahraga nasional.
Bagaimanapun, alasan sanksi pencopotan tuan rumah yang diberikan FIFA untuk Indonesia pada Rabu (29/03/20223) bisa dibilang ’mengambang’ dan tidak lebih dari sekedar pernyataan politis yang menyatakan ”karena situasi terkini” di Indonesia. Padahal, jelas diketahui bahwa keputusan FIFA sebenarnya diakibatkan adanya kecaman dan penolakan dari sejumlah pihak atas keterlibatan Timnas Israel dalam ajang Piala Dunia U-20 tersebut. Yang mana penolakan itu sebenarnya menyelimuti alasan-alasan konstitusional dan historis serta ideologis yang bersandar pada pemahaman agama yang berdasar. Meskipun juga tidak dipungkiri bahwa di belakang alasan pembatalan itu, Tragedi Kanjuruhan sebagai kasus hukum dan HAM yang kontroversial di mata dunia juga menjadi salah satu sebabnya.
Namun sayang untuk dipungkiri jika sikap politik FIFA yang menjadikan tragedi Kanjuruhan sebagai alasan pembatalan tuan rumah Indonesia, tetapi di sisi lain FIFA tidak merasa keberatan atas partisipasi negara Israel yang jelas-jelas bukan dalam waktu singkat menjajah dan banyak melakukan pelanggaran kemanusiaan di tanah Palestina yang bahkan sampai menyasar hingga dalam dunia olahraga sepakbola negara Islam ini. Jelas ada standar ganda berupa diskriminasi dan pengistimewaan FIFA terhadap Israel dalam konteks ini. Meskipun hal tersebut menurut Piagam Olimpik atau Olympic Charter, tidak dibenarkan.
Lantas mengapa baru dalam olahraga sepakbola bangsa ini membuat keributan atas partisipasi Israel?
Kenyataannya ada yang membedakan perhatian dan euforia masyarakat Indonesia terhadap olahraga sepakbola bila dibanding dengan olahraga-olahraga lainnya. Di Indonesia, sepakbola jelas merupakan cabang olahraga yang paling banyak digemari masyarakat. Selain itu, tidak ada cabang olahraga lain yang seintens sepakbola dalam menyelenggarakan event berjenjang dari tingkat regional, nasional, hingga internasional, serta hanya cabang olahraga sepakbola juga yang memiliki kemampuan magis mendorong pengarahan masa serta menarik perhatian ratusan ribu hingga puluhan juta jiwa warga masyarakat. Tak heran sekecil apapun persoalan di dunia olahraga sepakbola Indonesia, tetap akan menjadi sorotan perbincangan masyarakat dari berbagai kalangan.
Pemberitaan di berbagai media yang mengabarkan aksi penolakan Timnas Israel bertandang di Indonesia bukan hanya lahir dari kelompok organisasi masyarakat (ormas) seperti Front Pembela Islam (FPI), Muhammadiyah, Aliansi Solo Raya (Ansor), Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), Aqsa Working Group (AWG), Boycott, Divestment, and Sanction (BDS), Alumni 212, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI). Kelompok organisasi kepemudaan seperti KNPI, HMI, IMM, dan KAMMI, pun ikut mengambil sikap serupa.
Tak tertinggal Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta tokoh-tokoh penting nasional seperti mantan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan beberapa pejabat kepala daerah terutama dari daerah tempat yang sebelumnya direncanakan akan dilaksanakannya event dimaksud seperti Jawa Tengah dan Bali yang sikap penolakannya masing-masing disampaikan langsung oleh Gubernurnya yakni Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster. Kemudian terdapat juga beberapa partai politik yang menolak partisipasi Timnas Israel dalam event Piala Dunia U-20 di Indonesia, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahterah (PKS).
Selain mendeskripsikan bagaimana titik temu turbulensi politik nasional dalam kaitannya dengan pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia, di akhir tulisan ini akan dikemukakan juga alternatif yang sebenarnya dapat ditawarkan Indonesia pada FIFA beberapa waktu lalu sebelum kali kedua Ketua umum PSSI Erick Thohir bertemu dengan Presiden FIFA Gianni Infantino di Perancis pada 6 April 2023.
Turbulensi Politik Kekuasaan Nasional
Pemilihan diksi ’turbulensi’ di sini beranjak dari pengertiannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (sekarang Ejaan Yang Disempurnakan/EYD) yang dimaknakan sebagai keadaan terganggu karena perubahan yang tidak dapat diprediksi dan dikontrol. Pengertian ini dirasa cukup relevan untuk mendeskripsikan realitas politik kekuasaan di Indonesia. Turbulensi dalam konteks politik di sini juga dapat diartikan sebagai benturan kepentingan antarpihak dalam suatu hal. Maka tak salah untuk mengemukakan bahwa turbulensi itu menggambarkan kondisi perpolitikan terhadap kekuasaan yang saat ini tengah berjalan di republik ini. Selain sebagai akibat pembelahan politik yang lahir dari proses demokrasi pada tahun 2019 silam, kondisi politik saat ini juga sarat dengan berbagai macam probabilitas, yaitu kondisi ketidakpastian terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja berbanding terbalik dengan apa yang dipersepsikan selama ini oleh publik.
Jika meneropong pada konstelasi politik tahun 2019 silam, saat itu pasangan Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) masing-masing dikawal oleh partai pengusungnya. Jokowi-Ma’ruf dengan 6 partai pengusungnya yaitu PDI-P, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura, ditambah 3 partai pendukung yaitu Partai Perindo, PKPI, dan PSI. Sedangkan Prabowo-Sandi didampingi oleh Partai Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS, ditambah 1 partai pendukung yaitu Partai Berkarya.
Dalam prosesnya, rematch sengit antara petahana Jokowi dengan Prabowo ini melahirkan jurang pembelahan politik yang cukup lebar. Isu politik identitas agama (kasus Al Maidah 51) yang mencuat kuat dalam proses Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2017, turut memberikan pengaruh yang mengakar pada masyarakat Indonesia saat momentum Pilpres 2019. Akibat politik Identitas tersebut, dikotomi yang terjadi saat itu oleh sebagian pengamat disebut sebagai persaingan antara kelompok nasionalis versus kelompok religius. Kelompok nasionalis diasosiasikan dengan kelompok pendukung Jokowi-Ma’ruf, sedangkan kelompok religius diasosiasikan dengan kelompok pendukung Prabowo. Hal ini tent dikarenakan mengakarnya paham yang dianut oleh masing-masing kelompok pendukung ketika momentum politik tersebut berlangsung.
Walaupun seiring berjalannya waktu pada akhirnya dua rival politik ini mengerucut pada satu komposisi kabinet pemerintahan (termasuk PAN selaku pengusung Prabowo-Sandi yang bergabung menjelang akhir periode Presiden Jokowi), namun tidak dapat dihindari bahwa baik parpol pengusung maupun kelompok masyarakat yang ’mati-matian’ memperjuangan pasangan Prabowo-Sandi saat momentum Pilpres harus menerima ’luka’ akibat sikap politik dari figur yang didukungnya. Ini menunjukan bahwa realitas perpolitikan nasional itu dinamis dengan turbulensinya yang penuh dengan ketidakpastian. Beruntungnya dari sekian parpol pengusung Prabowo-Sandi ketika itu, hingga kini masih ada partai yang konsisten membersamai rakyat dengan bertindak sebagai oposisi dalam mengawal jalannya kekuasaan negara. Terutama PKS yang berani secara terang-terangan menunjukan sikap politik dalam hal penolakan terhadap langkah atau kebijakan pemerintah yang dinilai bertentangan dengan konstitusi dan hak-hak masyarakat serta memperlakukan ulama secara tidak baik. Gerakan konstisosial yang didorong semangat ideologis ini memang wajar dilakukan oleh partai berbasis ideologi agama yang mulai berupaya menjadi partai inklusif. Itu juga yang barangkali menjadi faktor bertambahnya 50 kursi atau 8,21% kursi legislatif PKS di Senayan dari sebelumnya yang hanya mencapai 6,79% pada Pemilu 2014.
Berbeda dengan partai-partai pengusung pasangan Jokowi-Ma’ruf, terutama PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2019 baik pada konstelasi Pilpres maupun pemilihan legislatif (Pileg) yang memperoleh suara terbanyak dengan persentase 19,33% atau 128 kursi di Senayan. Partai pemenang ini justeru sangat militan dan seringkali pasang badan saat kekuasaan pemerintah hendak meloloskan kepentingan-kepentingannya terutama yang berkaitan dengan produk kebijakan, termasuk saat pemerintah mendapat serangan naratif dari masyarakat karena adanya upaya pendiskriminasian terhadap tokoh-tokoh agama dan beberapa peristiwa lainnya. Bahkan tak tanggung-tanggung, sejumlah buzzer yang diduga kuat menjadi kaki tangan pemerintah ikut dikerahkan dalam melegitimasi tindakan yang diambil pemerintah selama ini. Namun bisa saja dalam beberapa kasus tertentu, partai ini memiliki sikap politik yang berbeda dari koalisinya dan sama dengan partai rivalnya.
Demikian juga benturan dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak pasti lainnya dapat terjadi pada kelompok nasional maupun kelompok religius ke depan. Paling tidak gambaran dinamika pembelahan politik dan peleburan kepentingan partai sebagai sesuatu yang lahir dari sikap politik seperti yang dijelaskan di atas merepresentasi pemahaman bagaimana turbulensi politik nasional yang terjadi sejauh ini. Selanjutnya, bagaimana kemudian turbulensi politik nasional dapat mengerucut pada titik temu sikap parpol? Apa variabel yang men-trigger turbulensi politik itu hingga bertemu pada satu titik kepentingan?
Titik Temu Sikap Partai Politik
Kendati dalam perjalanan kekuasaan pemerintahan kali ini bangsa Indonesia mengalami pembelahan politik yang tidak berkesudahan dari kelompok nasionalis dengan kelompok religius, kelompok kampret-kadrun dengan cebong-buzzer, bukan berarti dalam suatu kasus tertentu tidak ada benang merah yang menengahi kepentingan masing-masing kelompok.
Jika menjawab dua pertanyaan di atas mengenai bagaimana turbulensi politik nasional dapat mengerucut dan apa variabel yang mendorongnya titik temu itu, maka latar belakang sehingga dibatalkannya status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 adalah jawaban atas pertanyaan tersebut. Cara memahaminya ialah dengan mengidentifikasi substansi aspirasi dari penolakan yang diberikan masing-masing partai politik.
Dalam polemik ini, baik partai pemerintah seperti PDIP maupun partai oposisi seperti PKS menunjukan sikap kebangsaan yang sama dalam merespon partisipasi Timnas Israel pada ajang Piala Dunia U-20 di Indonesia setelah sebelumnya Israel dipastikan telah lolos kualifikasi. Sikap kebangsaan penolakan partai Islam seperti PKS atas Timnas Israel di balik itu tentu dapat dimaklumi karena doktrin ideologis di dalam partai yang menyerukan ukhuwah islamiah terhadap sesama bangsa dan negara-negara Islam. Meskipun dalam perjalanannya kini PKS juga sudah mulai membuka diri menjadi partai inklusif bagi kader yang tanpa latar belakang Islam demi memperluas basis konstituennya.
Namun dalam kasus partai nasionalis seperti PDIP yang selama periode Presiden Jokowi diketahui selalu bersama pemerintah, justeru menunjukan sikap kebangsaan yang cukup mengejutkan. Di mana PDIP melalui kadernya Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah dan I Wayan Koster selaku Gubernur Bali, dengan segala konsekuensi menyatakan sikap tegas penolakan atas partisipasi Timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 di Indonesia yang sebelumnya direncanakan akan digelar di masing-masing daerah yang dipimpinnya. Akibat sikap kebangsaan itu, publik yang sebelumnya menaruh respek pada kedua kepala daerah ini kemudian menumpahkan kekecewaannya secara masal pada akun media sosial terutama pada akun Ganjar Pranowo dengan berbagai macam kecaman. Bahkan tidak sedikit netizen Indonesia menghubung-hubungkan dengan akan menurunnya elektabilitas Ganjar Pranowo yang sebelumnya ramai diwacanakan sebagai kandidat kuat Calon Presiden (Capres) 2024 mendatang. Akan tetapi, belakangan juga diketahui bahwa PDIP mengaku sejak tahun 2022 lalu dengan berdasarkan data survei dan kondisi geopolitik dunia sudah melakukan tiga putaran lobi ke pemerintah untuk mencari jalan keluar atas besarnya kemungkinan masalah yang timbul di Indonesia akibat lolosnya Timnas Israel dalam kualifikasi Piala Dunia U-20.
Jika dipahami, titik temu sikap kebangsaan seperti PDIP dengan PKS sebenarnya ada di balik alasan ditolaknya keikutsertaan Timnas Isreal di Piala Dunia. PDIP maupun PKS sama-sama sepaham bahwa konstitusi tidak membenarkan adanya penjajahan di atas dunia karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan serta kemerdekaan ialah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Pembiaran partisipasi Timnas Israel untuk bertandang pada Piala Dunia U-20 di Indonesia dipahami kedua parpol ini sebagai pencideraan terhadap amanat konstitusi sebagaimana yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, sekaligus menafikan hubungan historis dan solidaritas bangsa Indonesia dengan Palestina.
Sederhananya, alasan prinsipil yang bersumber dari akar historis, konstitusi, ideologis, dan situasi geopolitik menjadi satu-satunya titik temu sikap partai-partai politik yang selama ini hampir tidak pernah alpa bertentangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan di sisi lain, variabel keinginan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa serta berprestasi di tingkat internasional lewat suksesi Piala Dunia U-20 juga menjadi faktor pendorong bertemunya kepentingan yang sama dari partai-partai politik ini.
Terakhir, sebenarnya ada alternatif efektif yang bisa diusulkan PSSI kepada FIFA sebelum melakukan negosiasi yang kali kedua lewat Ketua Umum PSSI Erick Thohir kepada Presiden FIFA Gianni Infantino tanpa harus mencabut status tuan rumah Indonesia sebagai penyelenggara Piala Dunia U-20. Alternatif tersebut adalah dengan mengusulkan pada FIFA agar Timnas Israel dapat bermain di negara tetangga terdekat seperti Singapura atau Malaysia dengan tetap mempertimbangkan fasilitas sarana dan pra sarana sepakbolanya yang memenuhi standar ketentuan FIFA. Tentu cara memuluskan ikhtiar ini pada negara-negara tetangga ialah dengan memanfaatkan posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN. Kedudukan tersebut adalah modal yang cukup kuat bagi Indonesia untuk menjalankan kerja sama internasional khususnya dalam bidang olahraga antar negara tetangga di Asia Tenggara.
Dengan melihat posisi strategis Indonesia yang seperti sekarang, kita patut optimis tidak akan ada kendala dalam menyukseskan event besar ini. Selain didukung status keketuaan ASEAN, Indonesia juga memiliki cukup pengalaman secara manajerial untuk menyelenggarakan ajang multi event di beberapa tempat sekaligus. Pada skala internasional, sebelumnya Indonesia sukses menyelenggaraka Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Sedangkan pada skala nasional, PON XX Papua 2021 juga pernah sukses terselenggara pada beberapa venue yang terletak di beberapa kota/kabupaten sekaligus tanpa sedikitpun mengurangi euforianya. Event nasional terdekat yang akan turut digelar pada dua tempat adalah PON XXI yang berdasarkan proses bidding juga akan diselenggarakan di Aceh dan Sumatera Utara.
Sepanjang sejarah, Piala Dunia 2002 merupakan event pertama kali yang diselenggarakan di dua negara secara bersamaan serta menjadi negara Asia pertama yang menyukseskan Piala Dunia. Di mana pada saat itu, Piala Dunia 2002 dilaksanakan di Korea Selatan dan Jepang. Andaikan beberapa waktu lalu segelintir anak bangsa memikirkan alternatif pelaksanaan Piala Dunia U-20 di dua negara dan kemudian FIFA dapat memuluskan usulan tersebut, maka Indonesia bersama Singapura atau Malaysia dapat mengukir sejarah sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 pertama di dunia dan Asia yang menyelenggarakan event di dua negara sekaligus. Dengan langkah semacam itu, dunia akan mengakui eksistensi sepakbola Indonesia sepanjang masa karena tetap mampu memberikan solusi efektif di tengah terpaan isu serius yang mengganggu. Kebanggaan semacam inilah yang sebenarnya juga bangsa ini perlukan di mata dunia, terlepas dari posisi atau peringkat Indonesia yang nantinya akan dicapai.