DETIK TV SUMSEL | Musi Rawas -Tidak lama lagi akan digelar perhelatan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024. Partai Politik pengusung kandidat calon Kepala dan wakil kepala daerah telah bekerja keras mengantarkan calonnya agar bisa bertarung pada Pilkada nanti. Uforia pendukung dan Partai pengusung giat melakukan kampanye guna menarik perhatian masyarakat pemilih.
Tulisan ini mencoba mengemukakan pendapat bagaimana cara kita memilih sosok ideal seorang pemimpin. Dan mengapa permasalahan bangsa ini tak kunjung baik padahal setiap lima tahun diselenggarakan Pemilu. Lalu apa sebenarnya yang sedang terjadi di Negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini. Bagaimana pula solusi melawan akal bulus kekuasaan yang ingin terus berkuasa dan mengatasi permasalahan bangsa yang kondisinya semakin memperihatinkan dengan segudang permasalahan.
Menurut penulis persoalan Bangsa kita hari-hari ini tidak terlepas dari persoalan leadership atau kepemimpinan.Carut marut sistem Pemerintahan di Negeri ini dikarenakan pemimpin yang tidak becus, tak punya kemampuan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai seorang pemimpin.
Untuk menjadi seorang pemimpin, setidaknya seseorang harus memiliki 3 (tiga) poin penting yakni Etikabilitas, intelektualitas dan elektabilitas (Rocky Gerung). Artinya seorang pemimpin harus diuji terlebih dahulu moralitasnya. "Aristoteles juga percaya bahwa kepemimpinan adalah keunggulan karakter, atau kebajikan moral”. Apakah ia pernah berbohong atau tidak. Bagaimana pula sikap kesehariannya dalam mengamalkan ajaran agama.
Kedua, harus diuji pula kemampuan otaknya (Intelektualitasnya)."Plato menyarankan kita memilih pemimpin berdasarkan kebaikan dan kearifan, serta keunggulan intelektual. "Bagaimana basis pengetahuannya. Dimana ia pernah bersekolah, apa ide pokok dan gagasannya tentang kepemimpinan. Kemudian baru dilihat pula bagaimana proses kehidupan (Track Record)-nya. Apa saja prestasi yang pernah ia capai sepanjang pengalamannya didunia perpolitikan (elektabilitas).
Sepanjang sejarah setelah Indonesia merdeka, sejak kepimpinan Soekarno, Seoharto hingga Presiden Jokowi, nyaris belum ada sosok ideal yang dinginkan dan mampu menjawab setiap persoalan krusial bangsa ini dan kebanyakan dari mereka adalah tergolong orang-orang bermasalah.
Terlebih Presiden Jokowi. Bagi penulis Jokowi adalah salah seorang Presiden yang paling paling buruk dan paling brutal sepanjang sejarah kepemimpinan di Republik ini.
Sejarah mengungkapkan, Soekarno dikenal Bapak Proklamator, Seoharto dikenal sebutan Bapak Pembangunan, Gusdur dikenal bapak pluralisme serta kaya akan ide dan gagasan. Megawati terkenal dengan pemimpin wong cilik, Habibi seorang teknokrat, SBY punya pengalaman militer dan ahli dalam berpidato.
Nah, untuk makhluk yang satu ini, gelar apa yang pantas kita sematkan selain Situkang Bohong. Jokowi lebih tepat diberi gelar sang Perusak bangsa, setidaknya Perusak Demokrasi. Faktanya selama kepemimpinannya telah terjadi pelemahan oposisi DPR. Tak juga ada prestasi yang ia capai selain kesengsaraan dan penderitaan rakyat kelas bawah. Dia telah memporak- porandakan Negeri ini dengan segudang permasalahan hingga mengalami keterpurukan dalam segala bidang. Mulai dari persoalan ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, bahkan agama hingga dekadensi moral, seperti kriminalitas, pemerkosaan, pornografi, porno aksi, Pergaulan bebas hingga sek bebas dikalangan siswa, Na'udzubillah.
Dibidang pendidikan. Anda tahu 20 persen anggaran pendidikan telah menguras APBN kita. Namun uang Negara yang telah digelontorkan Pemerintah sebesar itu belum berdampak positif secara signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Yang terjadi justru pengekangan dan pendangkalan berpikir terhadap peserta didik.
Gonta ganti kurikulum justru telah menimbulkan permasalahan baru, terbukti dengan penurunan prestasi siswa. Dampak berikutnya guru kebingungan dalam menerapkan kurikulum tersebut. Belum selesai guru menerapkan kurikulum lama, alih-alih meningkatkan SDM, sekolah justru dihadapkan dengan kurikulum baru yang sama sekali tidak berdampak baik terhadap perkembangan otak sang anak/siswa.
Dimana sang anak /siswa dijejali dengan materi pelajaran yang memberatkan dan belum layak untuk diajarkan, tapi terpaksa diajarkan karena tuntutan paraturan ditambah tugas-tugas berat lain dari seorang guru. Selain itu juga guru disibukkan dengan persoalan administrasi atau kegiatan seremonial, pelatihan hingga rapat-rapat yang tak banyak dampak positif-nya terhadap peningkatan kemampuan pedagogik peserta didik saat mereka mengajar dikelas dan masih banyak lagi permasalahan krusial lain yang menimpa dunia pendidikan kita akhir-akhir ini.
Dibidang ekonomi. Hari ini masyarakat dihadapkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar bagi keluarga miskin, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan serta kenaikan harga yang semakin tak terkendali sebagai dampak kenaikan BBM secara ugal-ugalan, antrian kendaraan pengisian BBM yang mengular, hingga kelaparan dibeberapa tempat wilayah Indonesia, menambah daftar panjang permasalahan Negeri yang kaya akan sumber Daya Alam ini.
Kita kembali ke persoalan Pilkada. Pemilihan Kepala Daerah adalah prosedur demokrasi untuk memilih pemimpin sebagai instrumen penentu arah kebijakan publik di sebuah Daerah sebagai maksud cita-cita kemerdekaan. Kepala daerah hasil Pemilu diharapkan bisa membawa daerah yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, membawa kebaikan atau kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Namun persoalannya, hari ini kita kesulitan menemukan sosok pemimpin yang dapat membawa kepada cita-cita kemerdekaan tersebut, yakni kesetaraan dan kesejahteraan. Terlihat kondisi pertumbuhan ekonomi yang kian melemah, disparitas antara sikaya dan simiskin semakin menganga yang lukanya sulit dicarikan obatnya.
Ada pendapat yang menyebutkan daerah kabupaten atau provinsi sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, terkendala Sumber Daya Alam (SDA) yang belum memadai. Padahal di Negara-negara yang sumber daya alamnya relatif tidak berlimpah tetapi dengan dukungan SDM yang handal dan kuat mampu menorehkan berbagai kemajuan dan prestasi hebat hingga diakui oleh negara-negara didunia.
Didalam proses Pilkada sendiri. Ada pepatah “The man behind the gun”(Orang dibalik senjata) adalah benar adanya dan tidak perlu diragukan lagi. Sebuah contoh, ketika seorang Kepala Daerah yang telah dilantik, pertama kali dilakukan adalah bagaimana mengembalikan biaya Pencalonan. Sementara dibalik Pencalonan sang kepala daerah itu ada pemodal, para cukong atau bandar (Oligarki Partai Politik) yang membiayai pencalonan tersebut. Artinya kekuasaan hari ini tetap dikendalikan oleh pemilik modal dan uang, hanya uanglah yang berkuasa bukan si-pemenang.
Artinya kita telah dipertontonkan sebuah drama politik yang mempermainkan sistem pencalonan para Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diujungnya memunculkan carut marut tata kelola birokrasi di berbagai daerah."Hari ini terlihat jelas maraknya Kepala Deerah yang memberhentikan para kepala dinas, kepala badan, kepala kantor serta para pejabat di bawahnya tanpa alasan yang diterima akal atau bisa dipertanggungjawabkan secara hukum."
Dan bahkan, kalau ditelisik lebih jauh lagi, banyak diantara para Kepala Daerah yang tidak mampu menjawab alasan terjadi pemecatan. Alih-alih karena alasan kompetensi, kinerja, atau kualifikasi, dan sangat mungkin istilah kompetensi itu pun banyak diantara mereka tidak mampu memahaminya secara utuh sehingga yang terjadi adalah "pasal pokok-e" atau pasal suka-suka gua, istilah Betawi.
"Jadi, tidak aneh jika sampai hari ini masih banyak keluhan dari daerah mengenai penempatan pejabat yang jauh dari kompetensinya. Seperti, Jabatan inspektur diisi oleh seorang dokter, jabatan camat diisi oleh seorang guru, jabatan kepala badan pengelola keuangan diisi oleh sarjana pertambangan, dan seterusnya."
Akhirnya tatanan birokrasi diabaikan hanya karena ingin memenuhi kebutuhan elite di daerah atas janji politik saat kampanye atau politik balas jasa atas dukungan bawahan (PNS) sampai ada upaya balas dendam karena PNS tersebut tidak mendukung sang calon. "Sering terjadi guyonan dikalangan mereka bahwa jadi birokrat itu tidak perlu pintar, namun yang diperlukan adalah yang pinter-pinter. Kelihatannya memang benar, harus pinter menjilat. Atau pakai cara lain dengan memasang banyak kaki, mulai dua kaki, tiga kaki bahkan lima kali dan seterusnya."Itulah kondisi birokrasi didaerah hari-hari ini.
Lalu, apa sebenarnya yang kita dapatkan dari permainan atau drama politik ini, dan apa penyebab permasalahan ini terjadi? Penulis mencoba melakukan analisis sederhana bahwa Kepala Daerah salah satunya mempunyai wewenang sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Wewenang PPK itu adalah berkaitan dengan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS di wilayahnya kecuali untuk pejabat eselon I dan pejabat fungsional utama.
Wewenang ini sangat sakti bagaikan Malaikat Izroil pencabut nyawa bagi PNS di daerah. Bagi Kepala Daerah, pegawai atau pejabat yang tidak mengindahkan perintah sang pimpinan, maka kapan pun bisa dilakukan pemecatan dari jabatan itu, atau bisa juga memindahkan dari jabatan basah ke jabatan kering atau-pun memutasi dari “jabatan mata air” dipindahkan ke “jabatan air mata” atau juga memindahkan bawahan dari satu tempat ke tempat lain yang letaknya terpencil.
Jadi, dari uraian penjelasan ini dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa salah satu faktor penyebab carut marut dan kekacauan di Negeri ini adalah karena Negeri ini dipimpin oleh orang-orang bodoh, tak punya kapasitas, pengetahuan atau pengalaman yang cukup sebagai pemimpin bahkan mereka juga jauh dari Tuhan mereka. Hal yang serupa juga terjadi pada para pendukung dan pemuja kekuasaan serta elite partai pendukung yang terdiri orang-orang yang bermental feodalistik, culas, dan penjilat.
Dan satu-satunya cara menghentikan langkah mereka adalah memulihkan akal sehat kita dengan cara meningkatkan pengetahuan. Caranya tentu memperbaiki sistem pendidikan kita. Setidaknya ada langkah sederhana yakni meningkatkan budaya membaca. Dengan banyak membaca seseorang akan cerdas, mampu memahami tentang apa saja terkait soal kepemimpinan atau memilih sosok seorang Pemimpin. "Bukankah Tuhan memerintahkan umatnya untuk gemar membaca (QS Al-'Alaq : 1-5).
Membaca membuat manusia cerdas, menumbuhkan akal sehat sehingga mampu mencerna dan menjawab setiap persoalan. Dan harus diingat bahwa Kemerdekaan Indonesia bukan didapat dari perjuangan orang-orang kekurangan pengetahuan tetapi justru dihasilkan dari buah pikiran dari sejumlah tokoh besar bangsa yang cerdas.
Demikian pembangunan, tidak cukup hanya dengan melimpahnya investasi atau karena banyaknya uang. Yang diperlukan dalam membangun bangsa adalah semangat juang tinggi dari seorang pemimpin yang dibangun dari pondasi ilmu pengetahuan yang mumpuni serta ditopang dengan pengamalan ajaran agama yang baik.
Sebut saja semisal Moh. Hatta, Natsir, Soekarno, Mohamad amin, KH. Akhmad Dahlan. Mereka ini adalah orang-orang yang cerdas yang berdedikasi, punya kemampuan intelektual yang mumpuni bahkan mampu bertengkar pendapat di forum dunia. Sementara penguasa Negeri kita hari ini sebahagiannya terdiri dari orang-orang bodoh, gagap dan gugup ketika dihadapkan disetiap persoalan(Tim)